Saat liburan kenaikan kelas ketika SD, dengan bangga orang
tuaku mengajak aku ke sebuah pasar malam yang ada di Bantul. Tapi anehnya,
mereka malah mengajakku saat siang bolong. Dan yang lebih aneh lagi dengan
pasrah aku malah mengikuti kehendak beliau-beliau. Sekarang aku malah menyesal,
bila kupikir dengan matang pada waktu itu mungkin aku bisa menolak dan meminta
untuk pergi ke Kids Fun, bukan di pasar malam yang didatangi saat siang.
Petualanganku ke sana dimulai
dengan menyusuri jalan-jalan di Bantul dengan perasaan fresh dan diapit oleh kedua orang tuaku menaiki besi beroda dua.
Ditambah dengan ketidakhadirannya adikku membuat liburan kali ini lebih
berkesan. Setelah sampai di sana, tanpa aba-aba lagi aku langsung menyerbu
wahana-wahana di sana. Walaupun dalam keadaan siang, pengunjung di sana sangat
ramai.
Setelah puas bermain, dengan nekat aku meminta
kedua orang tuaku untuk dibelikan tiket untukku sendiri untuk wahana bermain
yang cukup menyenangkan pada masaku dulu. Yaitu kereta mini. Walau pun hanya
sekedar kereta mini, namun untuk gadis kecil berumur 7,8 tahun yang tidak dalam
pengawasan orang tua, itu sungguh mengagumkan. Dengan gaya sok pahlawan aku pun
beranjak naik benda bergebong-gebong itu. Di sana aku duduk bersama ibu yang
sedang menggendong balitanya. Dengan perasaan kikuk, kucoba untuk terssenyum dengan ibu itu. Setelah berkeliling
beberapa tempat, akhirnya keretapun berhenti. Setelah turun, tiba-tiba saja aku
menjadi orang yang linglung. Di sana aku tidak dapat menemukan orang tuaku. Waktu
itu aku mulai akan menangis. Tapi setelah membuat tabiat tidak cengeng selama
11 bulan, akhirnya kutahan juga tangisanku itu. 15 menit berlalu dengan
kuhabiskan berjongkok di sudut bangunan. Mungkin kalau aku tidak menggunakan
jaket dan sepatu, orang-orang akan melemparkan uang recehnya dan beberapa
Satpol PP akan mengusirku. Rasanya lelah kalau harus berkeliling di tempat
seluas ini. Jadi kuputuskan untuk diam dan menunggu. Tapi yang kulihat hanya orang yang lalu-lalang dan beberapa
penjual. Sama sekali tak kutemukan sepasang suami istri yang sedang kebingungan
mencari anaknya. Aku membayangkan orang tua ku tiba-tiba saja amnesia dan
mengadopsi anak lain. Lamunanku buyar ketika seorang nenek menghampiriku.
Mungkin beliau telah lama melihatku berada di sini dalam keadaan bingung.
“Pisah sama orang tua nya, dek?” tanya sang nenek dengan lembut. Dengan reflek
aku menjawab, “Hehe”. Entah karena jawabanku yang tidak nyambung atau dikiranya
aku gadis kurang waras, nenek itu langsung saja pergi sebelum aku melanjutkan
perkataanku. Aku kembali murung. Mungkin saat ini orang tua ku telah pulang
lalu memajang beratus-ratus fotokopian kertas berisi fotoku lengkap dengan
ciri-cirinya. Atau mungkin mereka mengirim dataku ke acara berita BUSER bagian
orang hilang. Aku tertunduk malu tak kuasa melanjutkan imajinasiku.
2 jam berlalu dan aku belum
menemukan orang tua ku. Dan kini masalah bertambah satu. Aku sangat kelaparan.
Aku sudah menyerah. Mungkin aku akan berakhir dengan mengamen di lampu merah
atau lebih mujur lagi aku akan mendaftarkan diri ke panti asuhan. Arrgghh,
TIIDAAAAKK. Kini aku mulai menangis, aku tak lagi memikirkan tabiat tidak
cengengku. Aku benar-benar menangis. Suasana pengunjung yang waktu itu
bertambah ramai semakin memperburuk keadaan. Kesempatan menemukan orang tuaku
semakin kecil. Beberapa orang mulai mengerubungiku hendak tahu apa yang
terjadi. Mungkin sebagian besar dari mereka mengharapkan sesuatu yang menarik.
jadi beberapa dari mereka memilih keluar dari “rubungan” ketimbang melihat anak
yang menangis. Dan tinggalah aku dengan 2-3 orang. Mereka menanyaiku dengan
pertanyaan-pertanyaan. Walaupun takut, kupaksakan mulut ini untuk bersuara
dengan sedikit gemetar. Di sela-sela sesi tanya jawab itu, otakku masih saja
membayangkan diriku yang saat ini sedang menangis di potret oleh wartawan lalu
berada di halaman utama koran. Dan di atasnya tertulis dengan huruf besar
berbunyi “ANAK HILANG MENANGIS DI SUDUT BANGUNAN”.
Tiba-tiba saja langit yang sebelumnya mendung berubah cerah. Angin yang tadinya sangat
kencang kini menjadi sepoi-sepoi. Seberkas cahaya pun mengenai sepasang suami
istri yang waktu itu terlihat muda. Tampak terlihat lingkaran kuning di atas
kepala mereka seperti bidadara dan bidadari. Mungkin itu yang harusnya terjadi ketika orang tua ku datang. Ibuku dengan
anggunya menjulurkan tangannya. Tampaknya mereka tidak mengetahui 2 jam 37
menit terakhir yang aku lalui di pojok bangunan ini. Akhirnya perasaan lega
fotoku ini tak jadi terpampang di koran.
Komentar
Posting Komentar